Khazanah.Assalaf.id -
Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas
munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad
ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim
(arbitrase), mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu.
Kubu pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan
semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum
Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah
laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian
menjadi Khawarij.
Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah
representasi dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu
Rasulullah saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw. Kubu kedua ini
kemudian menjadi Syiah. Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok
ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah
paling ekstrem yang disebut Ghulat mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw
kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali. Di sinilah awal mula pertikaian
antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini.
Khalifah Ali kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin
Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. Menyedihkan, Ibnu Muljam ini sosok
yang dikenal sebagai penghafal Al-Quran, sering berpuasa, suka bangun malam,
dan ahli ibadah. Fanatisme dan minimnya ilmu telah menyeretnya menjadi manusia
picik dan sadis.
Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat
besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah
digantikan oleh puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat
sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada
Muawiyah karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik
untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam sejarah, tahun pengunduran diri
Al-Hasan dinamakan“am al-jamaáh” atau tahun persatuan.
Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh
dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang
terhadap Bani Umayah. Perselisihan makin memuncakmanakala Muáwiyah mengganti
sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai
khalifah selanjutnya.
Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw
Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah
Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat kaum Syiah untuk memberontak
terhadap Bani Umayah. Pertikaian selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga
antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa
Bani Abbasiah. Dua kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah.
Chaos politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan
kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah muncul
kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak
yang berdosa. Dosa dan tidaknyaserta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah
diputuskan di dunia, melainkan di akhiratoleh Allah SWT.
Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah.Perdebatan
siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan
tentang perbuatan manusia. Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabbariah
(fatalisme) dan Qodariah(fre act and fre will). Jabbariah berpendapat,
perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana
wayang yang digerakkan oleh dalang. Qodariah berpendapat sebaliknya, bahwa
manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan”
Tuhan terhadapnya.
Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang
berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka
menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah
memiliki sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini
berarti telah syirik atau menduakan Allah.
Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya
disebabkanoleh persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam. Hal ini merupakan imbas
dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah
bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban
yang mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat
ketimuran.
Seperti yang saya kemukakan di awal tulisan ini, kemunculan istilah Aswaja
merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu itu. Aswaja
dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat)
seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau
murid-murid tabiín) seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam
Sufyan bin Uyainah. Ditambah generasi sahabat, inilah yang disebut dengan
periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi
terbaik agama ini.
Selepas tabi’ tabiínajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid
mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul
Hasan Al-Asyári, Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid
Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári.
Dalam memahami dalil Al-Qur’an dan Sunnah Aswaja mengikuti metodologi para
sahabat, yakni metodologi jalan tengah (moderat), keseimbangan antara pengunaan
teks suci dan akal. Menyikapi pendapataliran-aliran ekstrem tersebut Aswaja
mengambil jalan tengah di antara pendapat-pendapat mereka. Beberapa ajaran
pokok Aswaja, antara lain:
1. Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan
ijtihad para sahabat, bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat
satu pahala. Aswaja mengambil sikap tawaquf (diam) atas perselisihan yang
terjadi di antara para sahabat dan menyatakan keadilan para sahabat (hadisnya
bisa diterima).
2. Dalam masalah takfir Aswaja amat berhati-hati, karena bila sembrono efeknya
akan kembali kepada si penuduh. Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan ahlul
qiblah atau selama masih mengakui tidak ada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
saw adalah utusan allah; mengakui hal-hal prinsip dan sudah pasti dalam
agama(al-ma’lum mina diini biddhoruroh) seperti rukun Islam, rukun iman, dan
perkara-perkara gaib seperti surga, neraka, hisab, shirath, malaikat, jin,
peristiwa isra’ dan mi’raj dll. yang informasi mengenai hal-hal tersebut hanya
diketahui dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw yang mutawatir.
3. Aswaja juga tidak mudah memvonis sesat sebuah pemikiran atau pendapat
seseorang yang berangkat dari dalil yang tidak tegas (ijtihadi) atau masih
terbuka ruang perbedaan pendapat di dalamnya. Aswaja amat menghargai perbedaan
pendapat karena perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat.
4. Mengenai perbuatan manusia, Aswaja berpendapat bahwa perbuatan manusia pada
dasarnya diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas
perbuatannya yang bersamaan dengan kehendak Tuhan.
5. Dalam memahami teks Al-Quran dan sunnah, Aswaja berpendapat bahwa ada ruang
bagi akal untuk memahami teks. Artinya ada teks yang mengandung makna haqiqi
dan ada teks yang mengandung makna majazi(metaforis) yang membuka ruang akal
(tafsir) untuk memahaminya.
6. Mengenai perbuatan dosa atau masuk surga dan neraka manusia, Aswaja
berpendapat manusia divonis telah berdosa di dunia apabila telah melanggar
hukum-hukum syariat sedangkan di akhirat mutlak adalah keputusan Allah.
7. Mengenai sifat Allah, Aswaja berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Dzat
(esensi) dan Sifat (atribut) adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat
dipisahkan, seperti halnya sifat manis yang melekat pada gula. Antara atribut
manis dan esensi pada gula keduanya menyatu, namun tak bisa dilepaskan satu
sama lain. Sifat senantiasa menyatu dengan Dzat (esensi).
8. Terkait dengan politik dan kekuasaan, Aswaja menyatakan haram hukumnya
bughot (memberontak) meskipun pemerintahan itu zhalim,karena hanya akan
menimbulkan pertikaian dan pertumpahan darah yang tak berkesudahan di kalangan
umat. Namun pemerintahan hasil kudeta adalah pemerintahan yang sah karena
terkait dengan kesejahteraan umat dan legalnya beberapa hukum syariat.
9. Aswaja tidak menolak tradisi dan kebudayaan yang sudah lama berkembang dan
mendarah daging di tengah masyarakat, asal tidak bertentangan dengan syariat.
Namun bila bertentangan dengan syariat, Aswaja menolak perubahan dilakuan
secara radikal dan revolusioner. Perubahan harusdilakukan secara bertahap.Atau
tidak harus merubahnya, tetapi mewarnai tradisi dan kebudayaan tersebut
sehingga cocok dengan ajaran Islam.
Fleksibilitas Ajaran AswajaSepanjang sejarah perjalanannya,
prinsip jalan tengah yang ditempuh Aswaja, yang mewujud dalam karakter tawasuth
(moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) membuat Aswaja mampu hidup
dan berkembang di wilayah mana saja dan mampu melebur dengan kebudayaan
setempat, serta senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman
(dinamis).
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara,dai-dai Aswaja awal di Nusantara
seperti Walisongo tak mengalami benturan dengan kebudayaan masyarakat
Nusantara. Pasalnya, kata Clifford Gertz, dalam menyebarkan agama Islam mereka
tidak hanya berperan sebagai pendakwah yang menyiarkan agama Islam,akan
tetapisebagai cultural broker, makelar budaya.
Oleh karena itu, saya berani katakan corak Islam di Nusantara 90 persen terbentuk
dari budaya. Hal ini terlihat dari arsitektur rumah ibadah, istana kesultanan,
tradisi dan ritual keagamaan, kuliner, fashion, hingga sistem pengajaran dan
pendidikan.Islam di Nusantara itu unik dan berbeda dengan Islam di tanah
asalnya, Arab.
Orientasi Aswaja Bukan KekuasaanAjaran Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat
Islam di seluruh dunia orientasinya tidak lain adalah mewujudkan kemaslahatan
dan kesejahteraan umat baik bidang agama, sosial, politik, maupun ekonomi.
Aswaja bukanlah golongan yang menjadikan kekuasaan politik sebagai tujuan.
Artinya, bagi Aswaja kekuasaan bukanlah indikator keberhasilan dakwah islamiah,
tetapi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kaum Syiah
dan Khawarij yang orientasi utamanya adalah kekuasaan politik.
Dengan prinsip jalan tengahnya, dalam bidang politikAswaja menghendaki tatanan
politik yang stabil. Aswaja mengharamkan pemberontakan terhadap pemerintah yang
sah dan mengharamkan sebuah tindakan dan pernyataan yang dapat memicu huru-hara
politik dan chaos. Mengapa? Karena instabilitas politik dapat memicu kekacauan
sosial yang pada ujungnyahanya akan menyengsarakan rakyat.
Aswaja menyatakan bahwa Islam tidak meninggalkan sistem politik apapun.
Mengenai pengaturan negara diserahkan kepada masyarakat yang membentuk negara
itu. Islam tidak mempersoalkan sistem demokrasi atau monarki. Islam hanya
memerintahkan seorang pemimpin harus adil dan berakhlakul karimah, senantiasa
musyawarah, serta berkomitmen untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagaimana kaidah
fiqh “tashorruful imam ála roíyah manuthun bil mashlahah” kebijakan seorang
pemimpin berdasarkan kesejahteraan rakyatnya.
Dalam bidang sosial, Aswaja menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang
beradab(tamaddun), dalam arti masyarakat yang membangun, saling menghormati,
dan toleran, meski berbeda agama, suku bangsa, dan budaya. Inilah tatanan
masyarakat ideal sebagaimana telah diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw 14 abad
yang lalu ketika membangun masyarakat madani (civil society) di Madinah.
Dalam bidang ekonomi, Aswaja menekankan pemerataan ekonomi. Aswaja mengambil
jalan tengah antara kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme. Aswaja
mengharamkan monopoli atas kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Aswaja juga
mengharamkan sumber daya alam dan mineral sebuah negara dikuasai oleh pribadi
atau segelintir orang. Aswaja menekankan keseimbangan antara hak-hak individu
dan hak-hak masyarakat sehingga tercipta keadilan sosial dan ekonomi.
Aswaja dan NasionalismeBagi Aswaja, agama dan nasionalisme tak bisa dipisahkan,
ibarat dua sisi mata uang. Agama dan nasionalisme saling mendukung.
Nasionalisme tanpa agama akan kering nilai-nilai, sementara agama tanpa
nasionalisme tak mampu menyatukan elemen-elemen bangsa. Hadratussyekh Hasyim
Asyári jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan menyatakan,cinta
tanah air sebagian dari iman. Siapa yang tidak mencintai tanah airnya maka
belum sempurna imannya. Inilah prinsip jalan tengah Aswaja dalam menyikapi
persoalan kebangsaan. Al-Quran secara jelas mengatakan: “sesungguhnya Kami
(Allah) menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal (berinteraksi)”.
***
Alhasil, Aswaja bukan hanya sebuah pandangan keagamaan, akan tetapi lebih jauh
merupakan pandangan hidup (way of life) seorang muslim dalam menyikapi
lingkungannya yang majemuk dan dinamis. Aswaja adalah manhajul fikrah wal
harakah (landasan pemikirandan gerakan) dalam menyikapi berbagai persoalan,
baik berhubungan dengan agama, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Seorang muslim penganut Aswaja mampu hidup dan menyesuaikan diri serta dituntut
untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan ketentraman masyarakat di
manapun mereka hidup. Wallahua’lam
Timur Jakarta, 882016 via NU Online
Penulis adalah Sekretaris PC GP Ansor Jakarta Timur dan Wakil Sekretaris
Lembaga Dakwah PBNU